Ditulis Oleh: Masrizal | Jurnalis Senior

Air bah itu datang seperti amukan yang sudah lama ditahan. Dalam hitungan menit, perkampungan yang semula penuh tawa berubah menjadi genangan ketakutan. Ibu-ibu menggenggam erat tangan anak mereka, sementara para ayah berusaha menyelamatkan apa pun yang masih tersisa — selembar akta, segenggam pakaian, atau sekadar harapan.

Galodo, banjir, tanah longsor — nama-nama yang selama ini terdengar seperti cerita tahunan, kini menjelma kenyataan pahit yang menyapu nyawa dan kehidupan di Sumatera Barat.

Tetapi bencana ini bukan sekadar kiriman langit. Ia lahir dari rahim kerakusan manusia.

“Hutan dulu tempat bermain, sekarang habis…” keluh seorang bapak di tepian sungai yang kini berubah menjadi lorong lumpur. Kata-katanya lirih, namun lebih lantang dari teriakan siapa pun yang selama ini mendiamkan kejahatan terhadap alam.

Curah hujan ekstrem sering dijadikan kambing hitam. Padahal hujan tak pernah menebang pohon. Hujan tidak membawa excavator untuk mengeruk perut gunung. Yang melakukan itu manusia — dengan izin yang diperdagangkan, tambang yang disulap jadi ladang kekayaan bagi segelintir orang, dan pembiaran yang begitu mahal harganya.

Hari ini, harga itu ditagihkan kepada masyarakat kecil yang bahkan tak pernah melihat sepeserpun keuntungan dari pengerukan bumi tempat mereka berpijak.

Perjalanan ke daerah terdampak seperti menyaksikan tragedi yang diputar ulang dari tahun ke tahun. Jembatan kembali ambruk. Sawah menjadi kubangan. Sekolah yang semestinya tempat mengejar mimpi justru ditutup karena lumpur menjebak masa depan mereka.

“Kenapa kami yang harus menanggung?”
Sebuah pertanyaan yang sulit dijawab — bukan karena tidak tahu, tapi karena terlalu banyak pihak pura-pura tidak tahu.

Tambang-tambang liar yang bekerja seperti hantu itu sebenarnya tidak pernah gaib. Mereka bergerak dengan suara mesin bising, modal besar, dan sering kali perlindungan yang tidak terlihat oleh masyarakat — namun terasa dampaknya setiap musim hujan tiba.

Jika alam bisa berbicara, mungkin ia akan bertanya:
Berapa lama lagi kalian hendak memperlakukanku sebagai barang rampasan?

Yang menyayat hati bukan hanya kehilangan rumah atau harta. Tetapi kehilangan keyakinan bahwa bencana bisa dicegah jika kita menghormati alam.

Ketika hutan diratakan, ketika sungai dicekik material tambang, ketika bukit kehilangan akar untuk bertahan,

maka bencana tak datang membawa peringatan lagi — ia langsung menuntut balasan.

Alam tidak marah. Alam hanya menagih janji-janji perlindungan yang telah lama kita hianati.

Sumbar tidak butuh lagi pidato belasungkawa yang indah.
Sumbar butuh keberanian yang nyata.

Menutup tambang ilegal bukan sekadar pekerjaan penegak hukum.
Itu tanggung jawab moral pada generasi yang akan bertanya:

“Apa yang kalian lakukan ketika alam mulai menangis?”

Kini bukan waktunya saling tunjuk. Warga tidak butuh drama politik dan panggung kepedulian dadakan. Mereka butuh jaminan bahwa ketika air kembali datang — bukan mereka lagi yang menjadi korban.

Para pemangku kebijakan harus berhenti bersandiwara. Mafia perizinan harus dicabut hingga ke akar. Pemulihan ekologis bukan pilihan — tetapi keharusan untuk bertahan hidup.

Jika kita kembali menutup mata, sejarah akan berulang.
Kita akan terus mengubur korban, menyusun bantuan, memunguti puing…

Hingga suatu hari nanti, mungkin seluruh Sumatera Barat
hanya tinggal kenangan yang pernah ada di peta.