Sungai Nanam | Kabut tipis masih menggantung di antara ladang-ladang kol dan kentang ketika suara pengeras mikro di Pasar Aie Baluluak memecah sunyi pagi. “Ayo bantu saudara-saudara kita yang tertimpa musibah,” seru para relawan muda yang berdiri di persimpangan utama nagari. Kalimat yang diulang sejak Sabtu itu bukan sekadar ajakan, melainkan gema kepedulian dari sebuah nagari kecil di Lembah Gumanti yang terpanggil oleh derita saudara-saudara mereka dari Aceh, Sumatera Utara, hingga Sumatera Barat.
Banjir besar dan longsor yang terjadi beberapa hari terakhir meninggalkan luka mendalam di banyak wilayah. Gambar rumah yang hanyut, jalan yang terputus, dan wajah-wajah kehilangan yang ditayangkan di televisi menjadi pemantik semangat warga Sungai Nanam untuk bergerak tanpa menunggu instruksi siapa pun. Gerakan itu lahir dari nurani, tumbuh dari rasa empati, dan membesar oleh semangat gotong royong yang sudah lama menjadi napas masyarakatnya.

Gerakan yang Lahir dari Ladang, Berakhir di Tangan yang Membutuhkan

Di nagari penghasil sayur terbesar di Solok ini, kepedulian tidak datang dalam amplop tebal, melainkan dalam karung-karung berisi hasil bumi terbaik. Tomat merah segar, kubis besar, daun bawang harum, kentang pilihan—semua diserahkan tanpa ragu oleh petani.

Tak sedikit warga yang datang membawa apa saja yang mereka punya. Ada yang menenteng dua karung kentang hasil panen pagi, ada pula ibu-ibu yang mengantar sayur-mayur meski panenan mereka tidak seberapa. “Kami tidak punya banyak uang, tapi sayur inilah rezeki kami. Kalau ini bisa membantu, kami ikhlas,” ujar seorang ibu paruh baya sambil menyerahkan keranjang kol.
Dalam waktu tiga hari, hampir 3 ton sayur-mayur terkumpul—angka yang mengejutkan bahkan bagi relawan sendiri. Dari total itu, 2 ton telah didistribusikan ke posko-posko bencana di Padang Balimbiang, Saniangbaka, Muara Pingai, dan Paninggahan. Bila diuangkan, jumlah bantuan tersebut setara sekitar Rp150 juta.

Selain sayuran, sembako, minyak goreng, mie instan, air mineral, pakaian layak pakai, perlengkapan mandi, hingga alat makan juga berdatangan. Donasi uang tunai yang dikumpulkan melalui WA Group masyarakat Sungai Nanam mencapai Rp6,6 juta. “Yang penting niatnya bersama, tak mesti besar jumlahnya,” kata salah seorang relawan.

Di Balik Layar: Tangan-Tangan yang Bekerja Tanpa Pamrih

Gerakan solidaritas ini tidak hanya dipenuhi pemuda berbaju oranye rompi relawan. Ibu-ibu rumah tangga, ninik mamak, tokoh masyarakat, hingga anak remaja semua turun tangan. Ada yang menjadi penjaga kotak donasi, ada yang memisahkan sayur layak distribusi, ada pula yang mengatur logistik dengan metode sederhana namun efektif.

Relawan perempuan menjadi penggerak penting pada proses penyortiran. Di halaman rumah warga yang disulap menjadi posko, aroma tanah dari sayuran bertemu dengan wangi teh manis buatan ibu-ibu yang terus mengisi gelas para pekerja.

“Kerjonyo dak ka habih sampai malam. Tapi awak ikhlas, lai untuak saudaro,” ujar seorang relawan perempuan sambil melap keringat di dahi.

“Kita Tidak Ada di Lokasi Bencana, Tapi Kita Bisa Meringankan Beban Mereka”

Kepala Jorong Koto Sungai Nanam, Arika Afendra, S.Pd, menjadi salah satu sosok yang terus mendorong masyarakat untuk terlibat. Baginya, aksi ini bukan tentang besar atau kecilnya bantuan, tetapi tentang ketulusan.

“Kita mungkin tidak merasakan langsung apa yang mereka alami, tetapi kita bisa membantu meringankan beban mereka. Apa pun yang terkumpul akan segera kita salurkan. Semoga saudara-saudara kita di Aceh, Sumut, dan Sumbar diberi ketabahan dan segera bangkit,” tutur Arika.

Baginya, ketika musim dingin menyelimuti ladang Sungai Nanam, justru kehangatan empati masyarakatnya yang menyalakan harapan.

Masjid, Pasar, dan Persimpangan Jalan: Semua Menjadi Ruang Kepedulian

Tidak hanya di pasar dan jalan raya, penggalangan donasi juga dilakukan di masjid-masjid. Setelah salat, jamaah menyisihkan apa pun yang bisa mereka berikan. Di antara lantunan doa yang dipanjatkan, suara harapan untuk keselamatan warga terdampak menjadi penguat semangat relawan.

Tokoh masyarakat Sungai Nanam, Masriwal, S.AP, melihat gerakan ini sebagai bukti bahwa kepedulian tidak mengenal batas geografis.
“Musibah adalah ujian bagi kita semua. Semoga kepedulian warga Sungai Nanam memberi semangat baru bagi para korban banjir dan longsor,” ujarnya.

Logistik Dikirim, Semangat Diperkuat

Koordinator lapangan gerakan Sungai Nanam Peduli, Riki Namzah, S.Sos.I, terus memantau arus masuk dan keluar bantuan. Relawan bekerja tanpa jadwal tetap; mereka hanya berhenti saat tubuh benar-benar membutuhkan istirahat.

“Seluruh bantuan yang terkumpul sudah kita distribusikan ke posko resmi. Penggalangan akan kita lanjutkan sampai 15 hari ke depan,” jelas Riki.

Baginya, angka-angka bantuan hanyalah pelengkap. Yang terpenting adalah nilai kemanusiaan yang tetap bertahan di tengah dunia yang semakin individualis.

“Kita berdoa agar ujian ini segera berakhir. Semoga tempat tinggal, rumah ibadah, sekolah, usaha warga, dan infrastruktur yang terdampak segera pulih. Termasuk jalan, jembatan, listrik, jaringan komunikasi, bahkan trauma healing bagi anak-anak,” tambahnya.

Sungai Nanam: Sebuah Nagari Kecil dengan Hati Besar

Aksi ini bukan yang pertama, dan tidak akan menjadi yang terakhir. Sungai Nanam sudah lama dikenal sebagai nagari yang warganya kompak saat bencana melanda daerah lain. Namun skala bantuan kali ini menunjukkan bahwa masyarakat tidak hanya bekerja dengan tangan mereka, tetapi juga dengan hati mereka.

Dari lembah yang dingin dan penuh kabut, aliran kepedulian mengalir deras menuju saudara-saudara yang tengah diuji oleh bencana. Dan di balik seluruh gerakan ini, ada satu pesan sederhana namun kuat: “Kalaulah kita tidak bisa hadir di lokasi musibah, maka bantuan kita yang akan sampai ke sana.”

Gerakan ini menunjukkan bahwa rasa kemanusiaan tidak pernah padam. Ia hanya menunggu dipanggil oleh keadaan—dan ketika panggilan itu datang, Sungai Nanam menjawabnya dengan tindakan nyata.

Masriwal